Fresh Juice 20 April 2013 – Yoh. 6:60-69 : Iman kok abu – abu ?

Play

Pembawa Renungan : Sandy Kusuma

Kis. 9:31-42;
Mzm. 116:12-13,14-15,16-17;
Yoh. 6:60-69

Saudara-saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus,

Kita berjumpa kembali.
Saya Sandy Kusuma dari Keuskupan Denpasar.
Saya mesti jujur mengakui
bahwa ada kerinduan di dalam hati saya untuk menemui para pendengar Fresh Juice
setelah perjumpaan kita bulan lalu.
Pada hari ini, Sabtu Pekan Paskah Ketiga,
kita akan mendengarkan bacaan Injil
yang diambil dari Injil Yohanes, bab 6, ayat 60 sampai 69.
Setelah Yesus menyelesaikan ajaran-Nya tentang roti hidup,
banyak dari murid-murid-Nya berkata,
“Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?”
Yesus dalam hati-Nya tahu,
bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu,
maka berkatalah Ia kepada mereka,
“Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?
Lalu bagaimanakah,
jikalau kamu melihat
Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?
Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna!
Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu
adalah roh dan hidup.
Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya.”
Sebab Yesus tahu dari semula,
siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia.
Lalu Ia berkata, “Sebab itu telah Kukatakan kepadamu:
Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku,
kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.”
Mulai dari waktu itu banyak murid Yesus mengundurkan diri
dan tidak lagi mengikut Dia.
Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya,
“Apakah kamu tidak mau pergi juga?”
Jawab Simon Petrus kepada-Nya,
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?
Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.
Kami telah percaya dan tahu,
bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”
Demikianlah Injil Tuhan.
Para sahabat yang dikasihi Tuhan,
Perkataan Yesus yang mana yang dianggap keras
sampai membuat orang bersungut-sungut dan bahkan pergi meninggalkan Yesus itu?
Belum lama berselang, Yesus memberi makan lima ribu orang dari lima roti dan dua ikan.
Yesus juga menunjukkan Kuasa Allah dengan berjalan di atas air
dan menyelamatkan para murid di perahu yang sedang menghadapi angin kencang.
Maka orang-orang pun menaruh harapan besar kepada Yesus,
bahkan dengan setengah memaksa,
mereka ingin agar Yesus menjadi raja bagi mereka,
memimpin mereka melawan penjajahan Romawi.
Setelah tiba di Kapernaum, Yesus melanjutkan kotbah-Nya.
Yesus menegur mereka
karena orang-orang itu hanya memikirkan hal-hal yang bersifat jasmaniah.
Mereka bersungut-sungut ketika Yesus berkata,
“Akulah roti yang telah turun dari surga.
Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal
dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar
minuman.”
Hukum Musa melarang orang meminum darah, sebagaimana yang tercantum dalam
perjanjian Allah dengan Nabi Nuh pada Kitab Kejadian.
Lha, kok sekarang Yesus malah menyuruh mereka makan daging dan minum darah Yesus?
Lalu para murid pun saling bertengkar satu sama lainnya.
Sebagian percaya akan perkataan Yesus,
dan sebagian lainnya kecewa, lalu pergi meninggalkan Yesus.
Mereka pun terpecah menjadi dua kelompok, yang tetap percaya dan yang menjadi kecewa.
Sekarang ini, kelompok yang pertama,
yakni kelompok yang tidak pergi itu pun terpecah dua.
Muncul kelompok baru yang jumlahnya malah mayoritas, yakni kelompok abu-abu.
Kelompok abu-abu ini tidak meninggalkan gereja
tetapi memiliki iman setipis kulit ari,
seringkali meragukan Tuhan dan bahkan tidak percaya.
Kepada kelompok ini Yesus juga bertanya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”
Dengan kata lain, percuma saja kamu tetap tinggal di sini tetapi tidak percaya, apalagi kalau
sampai berkhianat.
Malam minggu adalah malam istimewa, terutama bagi anak laki-laki remaja.
Begadang sampai subuh akan membuat kita menjadi sulit untuk bangun pagi di keesokan
harinya, padahal kita mesti pergi ke gereja.
Ibu saya, dengan setengah memaksa, membangunkan saya setiap minggu pagi supaya saya
pergi ke gereja.
Waktu itu, misa minggu hanya satu kali, yaitu pada minggu pagi saja.
Saya lebih sering menolak bangun,
kalau toh bangun, jelas dengan sangat terpaksa.
Sayang waktu itu belum lazim orang menggunakan kamera, sehingga sekarang saya tidak
dapat mengenang bagaimana bibir saya maju lima senti ketika sedang bersungut-sungut itu.
Pergi ke gereja sungguh merupakan siksaan bagi saya, tapi pastornya malah berkotbah soal
roti hidup.
Saya tidak butuh itu, pastor. Saya butuh tidur.
Sampai akhirnya saya mempertanyakan kepada ibu saya,
“Mengapa Mama memaksa-maksa saya ke gereja?”
Ibu saya sungguh bijaksana.
Ia tidak mau mengatakan soal roti hidup itu kepada saya.
Ia tahu bahwa hal itu hanya akan menambahi kejengkelan saya.
Ibu saya berkata, “Mama malu kepada orang-orang kalau anak Mama tidak pernah ke
gereja.”
Ini sungguh luarbiasa.
Ibu saya mengungkapkan perasaannya sendiri, sama sekali tidak menyalahkan saya.
Ibu saya menggunakan kedagingan saya sebagai jawaban,
ternyata saya telah membuat ibu saya menjadi malu.
Sampai sekarang pun saya masih takjub, dari mana Ibu saya memperoleh kebijaksanaan
seperti itu kalau bukan dari Roh Kudus.
Ketika istri saya dengan kebijaksaannya sendiri, menuntun saya supaya mau ke gereja,
ia juga tidak berbicara soal roti hidup, melainkan memanfaatkan kedagingan saya,
yakni demi anak-anak kami,
bahwa orangtua mesti menuntun anak-anaknya supaya rajin ke gereja.
Tetapi nanti dulu.
Ibu dan istri saya memang telah menyadarkan saya untuk mau ke gereja.
Tetapi jika seperti ini keadaannya,
jelas saya termasuk kelompok yang abu-abu itu,
pergi ke gereja dengan iman setipis kulit ari, rentan dan labil.
Pergi ke gereja supaya saya tidak mempermalukan ibu saya,
pergi ke gereja supaya saya terlihat baik di mata anak-anak saya.
Ibu dan istri saya telah membuka jalan bagi saya,
tetapi jawaban Petrus pada bacaan Injil hari inilah yang menjadi pamungkasnya,
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?”
Cukup lama saya merenung, iya ya, kepada siapa saya akan pergi?
Apakah saya akan pergi kepada dukun atau paranormal?
Apakah saya akan pergi kepada benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan supranatural
itu?
Lha, kok jadi bingung sendiri?
Ini jelas, saya masih berada di dalam kelompok yang abu-abu itu.
Badan tetap tinggal, tetapi hati pergi entah kemana, tanpa tujuan yang jelas.
Ini juga jelas, iman saya se tipis kulit ari, mudah sekali terkoyak.
Ini juga jelas, merupakan kebodohan manusia,
menolak tapi tidak mempunyai pengganti yang lebih baik.
Lihat saja pasangan suami-istri yang memutuskan cerai.
Mereka menolak pasangannya
dan memilih yang jelas-jelas tidak lebih baik,
menjadi duda dan janda yang jelas-jelas tidak baik untuk anak-anaknya
maupun untuk dirinya sendiri.
Mereka pergi meninggalkan sakramen pernikahannya.
Sekarang lihat pula pasangan suami-istri
yang tinggal se rumah tetapi tidak hidup bersama.
Inilah kelompok yang abu-abu itu!
Tinggal se rumah tetapi menjalani kehidupan sendiri-sendiri.
Ada yang memilih untuk menjadi tabah, setiap hari menghadapi dera dan derita akibat
kehidupan berumah-tangga yang tidak harmonis itu.
Ada juga yang pasrah, iya sudahlah, ini sudah nasibku.
Saya tidak memilih salah satu dari kedua kebodohan itu.
Saya memilih untuk bertekun memperbaiki, agar yang abu-abu itu lambat laun akan menjadi
putih bercahaya.
Begitu pula halnya di dalam iman,
diperlukan ketekunan agar lambat laun menjadikannya putih bercahaya.
Ketekunan itu artinya pemeliharaan dalam jangka waktu yang panjang,
berubahnya bukan seketika.
Pemeliharaan artinya terus-menerus disirami, diberi pupuk, agar menghasilkan buah yang
banyak.
Para sahabat yang dikasihi Tuhan,
Marilah kita sudahi renungan hari ini dengan menjawab pertanyaan berikut,
“Siapa sih yang tidak ingin menjadi baik dan benar di hadapan Tuhan? “
Marilah kita asah terus, agar yang abu-abu itu menjadi putih bercahaya.
Sampai jumpa.